Saturday, September 2, 2017

Mengurus Administrasi Pernikahan sendiri itu….Mudah!

Rasanya hampir semua masyarakat Indonesia sudah mendengar ‘mitos’ bahwa birokrasi di negara tercinta ini…ribet dan penuh pungli. Well, mungkin itu yang terjadi beberapa tahun lalu. Tapiiii….setelah mencoba mengurus administrasi pernikahan sendiri, ternyata mitos itu terpatahkan. Alhamdulillah J

Jadi, untuk para capeng muslim, segala urusan administrasi pernikahan akan dimulai dari tingkat RT dan akhirnya bermuara ke Kantor Urusan Agama (KUA). Saran saya, sebelum memulai pengurusan, ada baiknya capeng (pria & wanita) menyiapkan stok berkas sebagai berikut :
  1. Kartu Keluarga asli & fotokopi
  2. KTP asli & fotokopi
  3. Akta lahir asli & fotokopi
  4. Ijazah terakhir asli & fotokopi
  5. Meterai, siapkan saja 3-4 buah
  6. Pas foto dengan background biru ukuran 2x3, 3x4, 4x6. Sebanyak mungkin saja. Saya dan pasangan cetak masing-masing ukuran 16 buah.

Sebaiknya, siapkan fotokopi sebanyak mungkin. Saya dan pasangan menyiapkan sekitar 10 buah. Dan bawa juga fotokopi berkas dan pasfoto pasangan, setidaknya 1 set komplit. Masukan dalam 1 map atau tas khusus, bawa deh ke mana-mana saat pengurusan.

Nah. Saatnya memulai pengurusan. Jeng jeeenggg…..

RT
Di tingkat RT, adalah untuk mengurus surat keterangan RT-RW bahwa benar si capeng adalah warga setempat dan statusnya belum kawin/janda/duda. 
Yang dibutuhkan hanya KK, KTP, akta lahir (asli & fotokopi). 
Nantinya, pak RT akan memberi 1 lembar surat keterangan untuk ditandatangani oleh ketua RW (foto surat keterangan menyusul).
Oiya, sebenarnya tidak ada biaya untuk pengurusan ini. Tapi karena ketua RT biasanya kita kenal baik, bolehlah datang sambal membawa buah tangan. Sekedar untuk menjaga silaturahmi J

RW
Surat keterangan dari ketua RT kemudian dibawa ke ketua RW untuk ditandatangani. Nah, kalau di RW saya, biasanya pak RW standby di balai RW pukul 19.00-22.00 setiap hari. Dan di sudut ruang, terdapat kotak sumbangan sukarela. Biasanya diisi oleh warga yang hendak mengurus surat-surat RW. Menurut saya pribadi, saya tidak berkeberatan kok mengisi kotak sumbangan tersebut, mengingat ketua RW juga sudah meluangkan waktu setiap hari untuk melayani warga. Anggap saja untuk biaya listrik balai RW, hehe. Oiya, syarat yang dibawa sama yah dengan syarat RT.

Vaksin & bimbingan pernikahan di Puskesmas
Sebenarnya, tahap ini bisa dilakukan kapan saja. Namun, sebaiknya sebelum ke kelurahan karena akan ada berkas yang harus ditandatangani oleh pihak kelurahan. Daripada bolak-balik ya kaaan.
Saat ke puskesmas, capeng harus datang bersama ke puskesmas wilayah sesuai kelurahan capeng wanita. Urutannya adalah capeng akan diarahkan ke ruang KIA (Kesehatan Ibu dan Anak). Dari situ, akan dilakukan tes HIV dan kehamilan, dengan mengambil sampel darah dan urine. Setelah itu, baru diarahkan ke ruang KIA lagi. Mengisi beberapa fomulir, mendapat bimbingan pernikahan terutama yang berkaitan dengan masalah kontrasepsi, KB, dan kehamilan. Baru deh dilakukan suntik vaksin TT(D).
Syarat yang dibutuhkan adalah fotokopi KK, Akta lahir, KTP, dan BPJS (jika ada) masing-masing. Biaya yang dikeluarkan hanya Rp. 15.000 untuk berdua, hehe. Super murah kan?
Berdasarkan pengalaman saya (di Puskesmas Jagir Surabaya, bulan Agustus 2017), pelayanan Puskesmas cukup profesional, ramah, informatif, walaupun antrian memang cukup banyak sih. Maklum, biaya sangat murah, jadi jujugan warga pastinya.
Sebenarnya, proses di Puskesmas bisa selesai dalam 1 hari, apalagi jika datang awal. Hanya saja, saat itu Kepala Puskesmas sedang rapat di luar kantor. Sehingga, berkas akhir yang harus ditandatangani beliau baru bisa diambil esok harinya.

Kelurahan
Di sini, berkas yang akan diperoleh adalah lembar N1, N2, N3, N4 yang menjadi syarat KUA.
Syaratnya antara lain, berkas asli & fotokopi KK, KTP, akta lahir, ijazah terakhir; Surat keterangan RT-RW, berkas dari Puskesmas, pas foto, dan meterai.
Sebenarnya, selain surat N1-4, ada juga surat pernyataan bahwa yang bersangkutan adalah belum menikah/sudah menikah/janda/duda. Tapi sepertinya, setiap kelurahan punya kebijakan yang berbeda. Contohnya saya (kelurahan Sawunggaling Surabaya) dibuatkan sekaligus oleh pihak kelurahan. Saya tinggal menyiapkan pasfoto, meterai dan tanda tangan. Sedangkan di kelurahannya mas kesayangan (kelurahan Karah Surabaya), surat pernyataan tersebut berupa form yang harus ditandatangani oleh RT-RW setempat.
Yah, tapi secara garis besar, pelayanan di kelurahan juga sudah cukup baik, informatif, dan tanpa pungli. Seharusnya semua proses bisa selesai dalam 1 hari, tapi seperti yang terjadi di puskesmas, pak Lurahnya ada rapat di luar. Balik lagi deh, esok harinya.

KUA
Setelah berkas sampai tahap kelurahan selesai, siap deh menuju KUA.
Pada dasarnya, yang menikahkan nanti adalah KUA kecamatan salah satu pasangan. Biasanya, capeng wanita. Jadi, sebelum ke KUA kecamatan capeng wanita, mampir dulu ke KUA kecamatan capeng pria untuk mengurus surat numpang nikah. Sebenarnya, untuk saat ini capeng pria tidak perlu surat numpang nikah untuk domisili yang beda kecamatan (sesuai surat edaran Kemenag). Namun, berkas capeng pria & wanita tetap harus masuk ke KUA tersebut. Mungkin untuk keperluan verifikasi.
Setelah dari KUA kecamatan capeng pria, baru deh meluncur ke KUA kecamatan capeng wanita.
Di sini, syaratnya antara lain : surat N1-N4, fotokopi KK, KTP, Akta lahir, Ijazah terakhir, fotokopi KTP wali capeng wanita (biasanya Ayah kandung).
Oiya, kebijakan dari KUA se-Indonesia, apabila akad nikah dilakukan di KUA pada hari dan jam kerja, maka tidak dikenakan biaya. Namun apabila di luar jam kerja dan/atau di luar KUA, maka akan dikenakan biaya sebesar Rp. 600.000.
Nah, karena akad nikah saya insyaAllah akan dilakukan pada hari Minggu di rumah, jadi ya harus bayar dong. Jadi setelah berkas masuk, petugas akan memberikan semacam e-billing yang berlaku seminggu, untuk dibayarkan ke BTN terdekat.
Setelah itu, kembali lagi ke KUA untuk menyerahkan bukti bayar. Oiya, tanyakan juga siapa penghulunya, dan kalau bisa minta nomor kontaknya.
Pengalaman saya, karena lokasi akad cukup jauh, jadi saya menjanjikan antar-jemput penghulu dan qori (saya minta tolong jasa qori dari KUA).
Tahap KUA sudah selesai. Tinggal menunggu rapak (persiapan pernikahan) sekitar H-2-3 minggu di KUA. Oiya, untuk tahap rapak, pihak capeng yang harus aktif menanyakan ke KUA, ya.

Selesai sudah deh, pengurusan tahap administrasinya. Kalau bisa, pengurusan ini dikerjakan setidaknya H-3 bulan supaya waktu yang tersisa bisa maksimal untuk persiapan acara.

Sepertinya simpel, ya. Tapi jangan lupa tetap siapkan waktu luang, tenaga, kesabaran, dan dana (cadangan) untuk mengurusnya. Daaaan….ingat bahwa petugas di birokrasi tersebut juga manusia. Jika ingin dibantu, jangan keburu ngomel kalo mereka ada kesalahan. Ikuti saja, sambal berdoa supaya lancar urusannya. 
Karena kesabaran adalah KOENTJI.

Jadi persiapan pernikahan itu...apa saja?

Setelah sukses menentukan waktu dan lokasi pernikahan (terutama untuk prosesi agama), persiapan secara umum terbagi menjadi 3, yaitu :

Persiapan administrasi
Meliputi pengurusan administrasi negara, mulai dari tingkat RT hingga KUA. Sebenarnya, mengurus sendiri sangat mudah dan (berdasarkan pengalaman saya) informatif dan bebas pungli. Tapiii..siap-siap saja meluangkan waktu di hari dan jam kerja untuk mengurus segala tetek-bengeknya.

Persiapan acara.
Meliputi pemilihan vendor, konsep acara, sampai dengan koordinasi antara panitia dan vendor. Terlihat tidak terlalu sulit apabila kita sudah memiliki vendor incaran. Namun akan menjadi tricky apabila ‘bentrok’ dengan keterbatasan budget dan kesediaan jadwal vendor, hehe. Kuncinya, jangan memaksakan diri. Hehe.

Persiapan pribadi
Nah ini adalah persiapan yang sebenarnya optional, tapi sangat bermanfaat untuk dilakukan. Meliputi perawatan diri (full body dari atas-bawah, dalam-luar, hehe) sampai dengan persiapan vaksin untuk kesehatan pasutri.
Menurut saya, akan lebih baik jika kita sebagai calon manten membuat to-do list dan time schedule untuk mengurus ketiga persiapan di atas. Apalagi jika tidak menggunakan jasa EO khusus untuk persiapan. Tujuannya, supaya tidak ada waktu yang tumpeng tindih, dan tentu saja sangat membantu dalam alokasi budget pernikahan.

Baiklah, saya akan berbagi pengalaman di masing-masing kegiatan dalam post yang berbeda yah!
Semoga bermanfaat J

Sunday, August 20, 2017

Penentuan Tanggal dan venue Pernikahan

Setelah persiapan sebelum persiapan pernikahan, waktunya memulai persiapan yang sesungguhnya.
Jeng jengggg!
Tentu sebelum memulai hunting vendor, kita harus sudah punya bayangan mengenai waktu acara dong. Yakalik datang ke vendor kemudian ditanya 'buat kapan?', cuma bisa jawab 'eh anu nggg...'
Maka...tentukan waktunya dulu, baik untuk akad/pemberkatan maupun resepsi.

Tidak harus sudah spesifik tanggal kok. Tapi coba tentukan kisaran bulan dan hari yang diinginkan, dengan pertimbangan sebagai berikut :
- apakah harus di 'bulan besar'?
- kira-kira perlu persiapan berapa bulan sebelum hari H?
- apakah harus di tanggal-tanggal tertentu sesuai perhitungan adat?
- lebih baik di hari apa? mungkin jumat/sabtu.minggu?
Jangan lupa dibicarakan dengan keluarga kedua pihak yah.

Pengalaman saya dan pasangan, awalnya kami memutuskan untuk menikah sebelum bulan ulang tahun kami. Simpel sekali kan?😝
Setelah dibicarakan dengan keluarga kedua pihak, akhirnya disepakati bahwa :
- menghindari bulan Suro (yes, we both are javanese )
- Baik akad maupun resepsi di hari Sabtu/Minggu, supaya keluarga jauh bisa hadir
- Akad dan resepsi pisah hari, supaya tidak terlalu capek
- hari yang terpilih adalah hari baik menurut penanggalan Jawa, namun tidak menggunakan perhitungan weton dll
- akad nikah di rumah saya (supaya lebih sakral), sedangkan resepsi di lokasi lain
- persiapan adalah sekitar 6 bulan setelah penentuan tanggal

Setelah itu, kita bisa mulai mencari venue sesuai dengan keputusan yang diambil. Sebaiknya siapkan waktu maksimal 2 minggu mulai hunting sampai dengan booking. Dan, siapkan beberapa opsi hari/tanggal untuk menyesuaikan dengan jadwal di venue.

Untuk venue sendiri, sebelum hunting secara langsung, ada baiknya mulai mencari informasi, antara lain tentang :
- lokasi. Apakah mudah dijangkau tamu dan keluarga?
- fasilitas. Kondisi parkir bagaimana? Apakah venue menyediakan katering sendiri?
- kapasitas. Berkaitan dengan jumlah undangan
- interior & eksterior  venue.

Dengan demikian, lokasi-lokasi yang tidak memenuhi kebutuhan di atas tidak perlu disurvei secara langsung. Efektif, bo. Cukup datangi venue yang potensial untuk mendapat informasi yang detail.
Sebaiknya, saat survei jangan langsung main booking yah. Soalnya bisa jadi pilihan hanya karena terbawa emosi/suasana. Bukan melalui pertimbangan matang.

Di sela-sela hunting venue, disarankan mulai hunting vendor yang ingin digunakan. Berhubung sekarang era internet dan social media, maka sangat mudah mencari informasi tanpa harus mendatangi lokasi vendor yang bersangkutan (cek IG kami kakaaaaak...). Jika masih ingin tahu kualitas vendor incaran, bisa googling testimoni pengguna jasa tersebut. Kemudian, bisa menghubungi vendor yang bersangkutan via telepon / Line / WA untuk meminta price list.

Sehingga ketika venue sudah booked, bisa langsung lanjut dengan menentukan vendor.
Oya, sebelum menentukan vendor, pastikan dulu kedua belah pihak telah sepakat mengenai vendor yang ingin digunakan yah. Untuk acara saya dan pasangan, di mana biaya terpisah (seperti tertulis di sini ), kami sepakat bahwa pemilihan vendor terpisah untuk masing-masing acara, dan percaya dengan pilihan masing-masing 😊

Persiapan sebelum persiapan pernikahan...

Hampir 1 tahun berlalu sejak post terakhir. Lama juga yah :p

Sebenarnya banyak hal-hal yang ingin saya tulis dan bagi, baik tentang cerita diri sendiri maupun sekitar. Tapiii....mumpung momennya masih berlangsung, bisa dibilang masih anget lah (hehe), saya ingin berbagi tulisan dengan topik yang sebenarnya sudah cukup mainstream.
Topik yang sebenarnya banyak yang sudah ditulis orang lain, namun ijinkan saya menulisnya dari sudut pandang saya, siapa tahu bermanfaat buat yang membaca, yaitu....

Persiapan pernikahan! Cicitcuit!

Mungkin topik di atas akan terbagi dalam beberapa tulisan, karena sejak saya dilamar (bisa lihat di cerita lamarannya si mas ) sampai sekarang, persiapan pernikahan juga masih berlangsung. Dan untuk tulisan ini, saya akan berbagi tentang persiapan sebelum persiapan pernikahan. eh, gimana gimana? 😕

Jadi begini....IMHO, seperti yang kita semua tahu, pernikahan bukan sekedar tentang dua orang yang saling mencintai, yang memutuskan untuk hidup dalam sebuah ikatan sah, baik secara agama maupun negara. Lebih dari itu, pernikahan adalah sebuah sikap untuk siap dan ikhlas untuk menerima keluarga baru bagi masing-masing pihak, dan menyatukannya. Iya, keluarga besar. Tipically Asians, right? 😝

Jadi, persiapan pertama adalah...pendekatan keluarga.
Siap dan ikhlas menerima keluarga baru artinya mau belajar memahami karakter dan kebiasaan keluarga pasangan, menerima latar belakang keluarga pasangan, dan tentu saja...menyayangi keluarga pasangan. Ini berlaku baik untuk pihak cewek maupun cowok, yah. Yakinlah bahwa dalam pernikahan yang akan terjadi, tentu semua pihak ingin semuanya berjalan dengan baik, dan semua orang happy. Jadi, jangan pernah berpikiran bahwa pihak keluarga pasangan ingin menguasai jalannya acara, berat sebelah, dan lain-lain. Caranya? Baca kembali awal paragraf, hehe.

Jika persiapan pertama sudah dilakukan, yang kedua adalah...menyadari kemampuan dan keinginan diri dan pasangan.
Yakin deh, semua orang pasti pernah memimpikan jadi raja dan ratu sehari saat hari pernikahannya, dengan segala tetek bengek yang istimewa luar biasa membahana! 😄
Tapi....kembali lagi. Sebelum rempong mencari vendor sesuai impian, sadari dulu....
Bagaimana kemampuan finansial kita dan keluarga?
Apa hal-hal vital yang harus ada di acara pernikahan? Apa yang sifatnya optional saja?
Bagaimana rencana dengan pasangan untuk memasuki kehidupan pernikahan yang sesungguhnya?

Kenapa harus begitu? Karena (bagi saya), jangan sampai kita terlena dengan keinginan atau obsesi pribadi, untuk acara yang sebenarnya tidak menentukan kualitas kehidupan pernikahan kita ke depannya.
Jangan sampai memaksakan kemampuan sampai berhutang kanan-kiri untuk menutupi kebutuhan pernikahan yang sebenarnya bisa dihindari. Saya bukan orang yang anti berhutang jika terpaksa, tapi cenderung menghindari hutang apabila masih bisa dicari jalan lain.
Dari pemikiran di atas, kita bisa mulai berpikir hal-hal yang vital/harus ada dalam acara, misal :
- apakah akad/pemberkatan sebaiknya dilaksanakan 1 hari dengan resepsi atau tidak?
- apakah perlu ada upacara adat? Harus komplit atau cukup beberapa saja?
- apakah perlu mengundang seluruh keluarga besar atau tidak?
- dll

Jangan lupa, hal-hal tersebut sebaiknya didiskusikan dulu dengan pasangan, baru dengan keluarga. Kenapa?
Supaya ada kesamaan pendapat dengan pasangan, yang tentu bisa meminimalisir konflik antar keluarga. Sebagai contoh, pernah seorang teman curhat bahwa dia dan pasangan mengalami konflik karena dia dan pasangan membela pendapat keluarga masing-masing, tanpa mau kompromi. Seharusnya, kita dan pasangan yang berperan sebagai katalisator (halah) antar dua keluarga, bukan malah memperuncing konflik.

Kemudian yang ketiga, sepakati dengan pasangan apa yang akan dilakukan setelah sah menjadi suami istri. Tidak salah kok kalau mengimpikan honeymoon ke tempat yang superdupermevvahbinromantisabis. Tapiiii.....sesuaikan dengan budget kita. Kalau memaksakan diri, buat apa? Lebih baik pergi ke atau melakukan hal-hal yang nyaman buat berdua. Tanpa kepikiran tagihan membengkak setelahnya.
Boleh saling berjanji dan mengingatkan dulu, kalau memang sudah punya budget yang memadai (tanpa memaksakan diri), bolehlah memanjakan diri ke tempat-tempat yang zuperrr.

Persiapan keempat dan juga cukup penting dan sensitif, yaitu kesepakatan mengenai biaya.
Setelah kita sudah memahami kemampuan finansial kita dan pasangan, sebaiknya bisa dibicarakan dengan jujur sejujur-jujurnya antar kedua belah pihak. Pembagian biaya pun bisa banyak skemanya. Biasanya untuk yang kota asalnya berbeda, masing-masing mengadakan resepsi di kota asalnya, sehingga biaya mayoritas ditanggung masing-masing.
Namun untuk yang satu kota, akan lebih efektif jika menjadi 1 acara saja. Terkadang ada skema 50:50, atau sesuai tradisi Jawa, pihak perempuan mengeluarkan mayoritas biaya. Tapi kembali lagi, semua kembali kesepakatan.
Sebagai contoh, saya dan pasangan beserta keluarga menyepakati bahwa acara akad dan adat akan menjadi beban keluarga saya. Sedangkan resepsi menjadi beban keluarga pasangan. Dan kami semua happy dengan kesepakatan itu, karena apa? Karena kami semua JUJUR DI AWAL. ITU. PENTING. BANGET.

Begitulah persiapan sebelum persiapan pernikahan versi saya. Sebenarnya tentu akan ada banyak hal yang mengikuti hal-hal di atas, tapi kembali lagi ke pengalaman masing-masing. Paling tidak, 4 hal di atas adalah hal yang cukup krusial untuk dilakukan. Dan....apapun yang diceritakan orang di sekitar (terutama tentang mitos 'ujian sebelum menikah'), yakinlah bahwa segala persiapan pernikahan kita dan pasangan insyaAllah akan diberkahi kemudahan dan kelancaran, dijauhkan dari segala konflik. Aamiin!

Friday, September 16, 2016

What happens nowadays?

Sudah lama tidak produktif nge-blog, nih. Terakhir 5 Mei 2016, sudah sekitar 4 bulan lalu.
So, what happens nowadays?

Well, kalau saya bisa bilang dalam 1 kata.......BANYAK.
lots of happy stories, of course, including this introvert man. :)

Cerita lain, rencana jalan-jalan bersama teman yang (akhirnya) terwujud juga setelah beberapa kali penundaan. Will write it down, ASAP.

Hal-hal lain, hmmm....biarkan mengendap di kepala dulu sebelum saya bagikan di blog ini.

Selamat siang. Selamat ber-akhir minggu!

Thursday, May 5, 2016

Mengatur Anggaran : Menjadi Realistis, daripada Miris

Halo!

Setelah beberapa post dengan topik yang random (karena menyesuaikan dengan suasana hati, sih :p ), sepertinya saya ingin berbagi hal-hal yang (semoga saja) bermanfaat. Dan itu adalah tentang….bagaimana mengatur keuangan rumah tangga dengan efisien!


*Lah, emang situ udah berumah tangga?*

Belum, sih :p  . Tapi kan mengatur keuangan rumah tangga bukan monopoli wanita dengan status istri saja, to?

Jadi, sehari-hari saya tinggal bersama keluarga komplit, minus kakak yang sudah menikah. Nah, karena kondisi tertentu, akhirnya posisi menteri keuangan diserahkan ke saya. Tentu saja, posisi Ibu Suri tetap di tangan Ibu! :))

A. Daftar
Biasanya, saya memulai dengan membuat daftar : (1). Sumber pemasukan; (2) Pengeluaran wajib. O iya, penting untuk menyiapkan nomor rekening khusus untuk keluar-masuk dana. Jadi, tidak akan bercampur dengan dana pribadi. Bisa repot deh kaloautercampur, bisa-bisa ge er bahwa dana di rekening pribadi masih banyak dan telanjur digunakan untuk beli bedak, eh ternyata itu duit beras. Hmmm.

Untuk poin (1), apabila sumbernya dari beberapa pihak (seperti pengalaman saya), wajib dikonfirmasi kesanggupan tiap pihak, berapa nominal perbulan yang akan diberikan? Dan kapan? Karena dalam prinsip keluarga kami, masalah keuangan harus terbuka. Tidak boleh ada paksaan, tidak boleh ada yang dikorbankan. Tujuannya, agar perencanaan awal dapat serealistis mungkin. Tidak ngawur.

Untuk poin (2), saya memasukkan kebutuhan dasar seperti : belanja (sehari-hari & bulanan), iuran lingkungan, rekening air-listrik-internet-TV, gaji ART, kesehatan, dan tabungan. Kebutuhan hiburan sengaja tidak saya masukkan, karena bersifat tentatif. Dan biasanya kami, para anak, lebih memilih mengeluarkan dana pribadi kami untuk keperluan hiburan keluarga (semoga rejeki kami selalu lancar, aamiin!).

B. Penyeimbangan
Langkah berikutnya adalah, menyeimbangkan antara nilai pemasukan dan pengeluaran. Tidak lucu kan, kalau besar pasak daripada tiang.

Bagaimana kalau pengeluaran wajib lebih besar dari pada sumber pemasukan? Ya satu-satunya cara, adalah penyesuaian kembali anggaran. Dan hal ini tergantung kondisi masing-masing rumah tangga. Ada yang menyesuaikan di anggaran rekening, atau belanja, atau juga kesehatan. Tergantung prioritasnya, sih. Yang penting, sebisa mungkin hindari HUTANG!

Kenapa hindari hutang? Ya pastinya sudah jelas : hutang tetap terhitung defisit anggaran, dan istilahnya orang Jawa : mbendol mburi! Yah, semacam kesenangan sesaat yang pada akhirnya tetap harus dibayar. Duh, semoga dihindarkan dari hutang deh.

Bagaimana dengan kartu kredit? Walaupun juga berarti hutang (di dunia modern), kartu kredit bisa tetap bermanfaat tanpa membuat defisit anggaran, asalkan : (1). Limit realistis, tidak lebih dari 1/3 pendapatan bulanan; (2). Pemakaian tidak melebihi limit, lebih baik lagi kalau membatasi diri sendiri pemakaian sampai dengan nominal tertentu; (3). Pembayaran tagihan masuk dalam daftar pengeluaran wajib.

Tapi khusus kartu kredit, saya hanya menggunakannya untuk penggunaan pribadi sih, bukan rumah tangga. Entah kalau sudah menikah nanti (eh, mungkin minta dibayarin suami saja ya? :p ).

C. Siapkan Dana Tunai
Kalau sudah seimbang antara pemasukan dan pengeluaran, saya biasanya akan menyiapkan uang tunai sejumlah yang dibutuhkan dalam catatan pengeluaran.

Lho, memangnya harus tunai ya? Ya tidak juga sih. Tapi buat saya, uang tunai akan lebih mudah untuk diakses oleh penghuni rumah, mengingat sehari-hari yang ada di rumah adalah bapak-ibu yang sudah pensiun. Akan merepotkan kalau harus menunggu kami pulang di sore/malam hari membawa dana tunai sesuai yang dibutuhkan, padahal butuhnya sudah dari siang. Kalau kata Cinta sih, “Basi! Madingnya udah siap terbit!”. Lol.

Saya terbiasa menyiapkan amplop untuk masing-masing pos, supaya tidak bercampur dan lebih praktis saja sih. O iya, untuk pengeluaran yang sifatnya dibayar / dibeli melalui ATM; seperti rekening lsitrik, internet, TV, telepon; tidak saya ambil tunai. Biar tetap di rekening bank saja. Stay there, stay safe.

D. Catat
Kemudian yang paling penting adalah : CATAT!
Kenapa? Karena dengan adanya catatan keuangan, kita akan bisa mengevaluasi; apakah anggaran kita sudah realistis? Apakah ternyata bisa dikurangi, atau malah harus ditambah? Atau mungkin bisa ada subsidi silang antar pos pengeluaran?


Apabila langkah-langkah tersebut konsisten dilakukan setiap bulannya, seharusnya sih bisa lebih efisien dan lebih tenang. Tidak ketar-ketir menjelang tengah atau akhir bulan memikirkan dana yang ada, cukup atau tidak ya?

Yah, walaupun topik post ini rasanya kok 'ibu-ibu' banget, tapi penting lho! *iya-in aja lah*


Semoga saat sudah menikah (aamiin!) dan menjadi istri dan ibu nanti, saya tetap bisa konsisten menjalankannya. Asal….tidak impulsif saat melihat barang yang disuka :))

Saturday, April 16, 2016

Komunikasi (?)

Sudah lama tidak update isi blog. Sepertinya harus mengaku, bahwa itu didasarkan pada…rasa malas, hehe. Sebenarnya banyak hal-hal yang terjadi yang ingin saya angkat sebagai tulisan, namun berakhir hanya di angan. Anyway, akhirnya saya membulatkan niat (jreeeeng!) untuk mengangkat satu hal yang (menurut saya) bisa saya bagikan dalam blog ini.

Beberapa hari lalu, saya mengikuti Emerging Leader Development Program, sebuah program internal perusahaan untuk membangun karakter pemimpin dari para karyawan. Sebenarnya program ini berlangsung selama 6 bulan, dan beberapa hari lalu adalah pertemuan kedua kami dengan pemateri. Pertemuan pertama, kira-kira sebulan lalu, lebih mengarah pada pengenalan karakter pemimpin dan membuat goal. Pertemuan kedua kemarin, selama 2 hari, melatih kemampuan komunikasi kami.

Saya tidak akan menulis materi dalam program tersebut, karena [satu] tulisan ini akan menjadi terlalu panjang; [dua] saya tidak punya catatan tertulis selama pertemuan, karena memang itu bukan materi ujian atau semacamnya. Jadi, cukup didengar dan dilatih saja.

Yang ingin saya bagi adalah, dalam pertemuan ini, pemateri menyampaikan bahwa karakter saya sangat mempengaruhi cara berpikir, dan tentunya cara berkomunikasi saya dengan orang lain. Sedangkan, semua hubungan -baik pekerjaan, pertemanan, keluarga, pasangan-, mensyaratkan satu hal,
KOMUNIKASI yang baik
Ah, kalau bicara komunikasi yang baik, tentu semua orang akan merasa, “saya sudah bisa berkomunikasi yang baik, kok.” Sayapun (awalnya) berpikir begitu. Kemudian dalam pertemuan kemarin, saya berpikir ulang, “apakah saya sudah berkomunikasi dengan baik?”
Dan saya pun akhirnya menyadari. Dannn…mengakui.
Saya sudah berkomunikasi, mungkin dengan benar. Tapi tidak baik.
Mengapa tidak? Karena saya tidak mempertimbangkan karakter partner komunikasi saya. Saya terfokus pada apa yang MENURUT SAYA BENAR. Apakah itu salah? Tidak juga. Lha wong saya berniat positif kok. Menyampaikan maksud saya. Bukan marah-marah. Atau menghina. Ataupun hal-hal negatif lain.
Tapi, apakah cara saya sudah EFEKTIF?
Nah, itu dia. Yang membedakan adalah cara. Saya terindikasi berkarakter controller. Tentu harus bisa membedakan cara berkomunikasi antara dengan promoter, supporter, analyzer, ataupun sesama controller. (anyway, penjelasan tentang keempat karakter tersebut akan saya bahas lain waktu….kalau tidak malas :p )

Selain itu, terkadang juga saya melakukan komunikasi yang bersifat PERMINTAAN. Apakah itu adalah PERMINTAAN EFEKTIF, dapat terlihat dari jawaban pendengar; yaitu antara ya, tidak, atau menawarkan alternatif lain. Dan permintaan efektif, seharusnya memuat mengenai : hal yang diminta, waktu yang diberikan, alasan permintaan, dan situasi yang berlangsung ketika permintaan dibuat. Sehingga, pendengar dapat memberikan jawaban yang efektif pula, bukan yang nanggung, atau malah ‘kabur’.
Singkatnya, saya belajar sesuatu.
Bahwa apabila saya tidak mendapat tanggapan yang saya harapkan dari partner saat saya mengomunikasikan maksud saya, bukan berarti partner saya yang bermasalah. Tapi bisa jadi, komunikasi saya yang kurang efektif.

Sudahkah saya bersikap yang membuat partner nyaman saat berkomunikasi?
Sudahkah saya melihat situasi dan kondisi yang berlangsung, baik pada saya maupun partner?
Sudahkah saya berempati pada partner?

Semoga ke depannya, saya bisa semakin baik dalam berkomunikasi, dengan siapa saja.

Bahkan dengan Tuhan sekalipun.